

TKN Surabaya – Akhir Bulan Agustus 2025 menjadi saksi kelabu negeri ini. Bukan hanya langit yang muram, tetapi juga jalanan yang dipenuhi asap dari fasilitas publik dan gedung pemerintahan yang terbakar. Ruang-ruang yang seharusnya menopang kehidupan rakyat kini berubah menjadi panggung amarah yang tak terbendung.
Di tengah situasi genting ini, Septiyani, S.E., Ketua Umum Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Surabaya 2025–2026 dan Seluruh Jajaran nya, menyampaikan keprihatinan mendalam. Amarah rakyat punya alasan kuat, tetapi jalan yang dipilih kini berada di persimpangan berbahaya: melawan ketidakadilan atau justru merusak masa depan sendiri.
Kohati Surabaya memahami betapa berat himpitan ekonomi saat ini. Namun sebagai insan akademis dan organisatoris, kami menyerukan agar semua pihak berhenti sejenak, menjernihkan pikiran, dan tidak membiarkan emosi mengalahkan akal sehat.
Gelombang protes ini bukan tanpa sebab. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan panjang dan rasa keadilan yang tercabik. Perekonomian tertekan, proyek strategis dibatalkan, rakyat diminta berkorban. Namun pengorbanan itu tidak ditanggung adil dari atas hingga bawah.
Di saat rakyat bergulat dengan biaya hidup yang kian berat, justru di Senayan gaji dan tunjangan DPR dinaikkan. Pajak melonjak, sementara elite politik larut dalam kemewahan, bahkan melecehkan aspirasi rakyat. Situasi ini mencerminkan pengkhianatan terhadap kontrak sosial: mandat dan pajak rakyat ditukar dengan beban, bukan perlindungan. Dari sinilah lahir rasa dikhianati yang membakar bara protes di seluruh negeri.
Demonstrasi yang awalnya sah dan damai berubah menjadi ricuh setelah korban sipil berjatuhan akibat tindakan represif. Di era digital, video kekerasan menyebar secepat kilat, memperkuat amarah tanpa ruang jeda. Pernyataan arogan seorang wakil rakyat yang viral hanya memperparah keadaan.
Namun, Kohati Surabaya melihat adanya pihak-pihak gelap yang menunggangi situasi. Mereka bukan sekadar provokator jalanan, melainkan aktor sistematis: kelompok politik yang ingin mendelegitimasi pemerintah, jaringan anarko-kriminal, atau bahkan kepentingan korporasi. Mereka menyusup, memantik api, lalu pergi, meninggalkan demonstran sejati menanggung stigma anarkis.
Di titik inilah akal sehat harus mengambil peran. Jika anarkisme terus berlanjut, siapa yang menanggung kerugian? Jawabannya: rakyat sendiri, terutama perempuan, anak, dan kelompok rentan.
Fasilitas publik yang terbakar harus dibangun kembali dengan biaya triliunan dari APBN—uang yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Pilihan pemerintah pun makin sulit: menambah utang luar negeri atau mencetak uang. Opsi terakhir hanya akan memicu hiperinflasi, membuat harga-harga meroket dan rakyat semakin terhimpit.
Menghadapi kompleksitas ini, Kohati Surabaya menyerukan introspeksi nasional. Perjuangan menuntut keadilan tidak boleh berakhir pada kehancuran. Amarah harus diubah menjadi energi jangka panjang, bukan ledakan sesaat yang merugikan diri sendiri.
Perjuangan tetap harus diarahkan pada tujuan awal: memperjuangkan hak dan keadilan rakyat. Kohati siap mengawal aspirasi hingga pintu parlemen, memastikan suara rakyat tidak pernah dibungkam.
Sebagai perempuan dan kader bangsa, kami percaya peran perempuan krusial dalam menjaga nalar dan empati bangsa. Saat situasi panas, mari kedepankan rasionalitas. Jangan biarkan bara api membakar “rumah” kita sendiri. Jadikan amarah sebagai bahan bakar perjuangan konstruktif, bukan alat pihak yang ingin menghancurkan bangsa ini.
Bahagia HMI, Jayalah Kohati!
Keterangan Penulis:
– Septiyani, S.E
– Ketua Umum Kohati Surabaya 2025-2026
– Mahasiswa S2 Ekonomi UNAIR
– Master Of Ceremony / Host / Speaker
