TKN Ponorogo – Warga di pinggiran pelosok desa Kecamatan Ngrayun dan Slahung Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur , tidak lagi harus menempuh perjalanan yang jauh – jauh jika ada keperluan untuk mengurus surat atau administrasi ke desa.
Di tahun ini sudah bisa menjadi yang dekat dan merupakan babak baru , yang di namakan lahirnya lima kantor desa baru di Ponorogo yang kini tengah dinanti masyarakat.
Di lereng pegunungan Ngrayun, warga Desa Persiapan Ngandel sudah membayangkan sebuah balai desa berdiri di dekat pasar kecil mereka. “Kalau sudah jadi desa definitif, anak-anak kami bisa mengurus dokumen tanpa harus turun ke desa induk. Tidak perlu menunggu kendaraan dari tetangga,” ungkap nya tokoh masyarakat .
Harapan serupa juga datang dari warga Desa Persiapan Argo Mulyo di Kecamatan Slahung. Mereka membayangkan jalan desa yang lebih layak, pelayanan kesehatan yang lebih dekat, serta program pembangunan yang langsung menyasar wilayah mereka tanpa harus berbagi terlalu luas dengan desa induk.
Evaluasi Menuju Desa Definitif
Harapan itu perlahan semakin nyata. Sejak 30 September hingga 2 Oktober 2025, tim evaluasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah turun langsung ke Ponorogo. Mereka mendatangi kelima desa persiapan—Ngandel, Sambiganen, Galih, Pucak Mulyo, dan Argo Mulyo—untuk menilai kesiapan pemekaran.
“Setelah raperda masuk, kami punya waktu 20 hari untuk evaluasi. Turun langsung ke lapangan membantu kami memastikan data sesuai kenyataan,” jelas Yelladys Nuring Alifagusta dari DPMD Jawa Timur.
Pemerataan Pembangunan menurut
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko menegaskan, pemekaran desa bukan sekadar menambah nama dalam peta administratif, melainkan membuka jalan pemerataan pembangunan.
“Dengan desa baru, akses layanan publik bisa lebih dekat, pembangunan lebih merata, dan potensi desa yang selama ini tersembunyi bisa tergarap,” ujarnya.
Masyarakat di lima desa persiapan itu menunggu dengan penuh harap. Jika evaluasi berjalan lancar, dalam waktu dekat mereka akan resmi menyandang identitas baru: warga desa definitif.
Bagi mereka, pemekaran bukan hanya soal garis batas di peta, melainkan awal dari perubahan nyata—jalan yang lebih baik, pelayanan administrasi yang cepat, dan kesempatan membangun desa dengan jati diri sendiri.
Mungkin, beberapa tahun ke depan, anak-anak dari Ngandel, Sambiganen, Galih, Pucak Mulyo, dan Argo Mulyo akan bercerita bahwa mereka lahir di desa baru, hasil perjuangan panjang orang tuanya yang menanti pemekaran.(red)
